Malam itu terasa
cukup dingin, mungkin suhu udara sekitar 20-22o Celsius. Aku merasa
jaket ini tak cukup untuk menghangatkan badanku ini. Apakah kemarau akan segera tiba? Entahlah,
aku tak terlalu peduli, yang penting segala urusanku harus selesai malam ini.Malam itu aku melaksanakan ibadah bulananku dengan amat khusyuk dan
sungguh-sungguh. Bukan ibadah dalam konsep menjalankan ritual beragama, atau
hal2 yang biasa para agamawan lakukan. Ibadahku ini hanyalah kebiasaan yang aku
lakukan terus menerus setiap bulan dan aku usahakan untuk melakukannya. Tak
peduli mau ada gunung Meletus, hujan badai, gempa bumi, ataupun kriminalitas
anak2 yang sedang haus pengakuan. Aku pasti akan tetap jalan menuju lokasi
peribadatanku.
Meskipun lokasi peribadatanku berada di luar kota, aku usahakan
tetap ke sana. Ya, namanya juga ibadah. Ibadah yang aku laksanakan pada malam
hari itu adalah berpikir, bertemu, dan berdiskusi dengan orang-orang yang ada di
sana. Mereka juga sama sepertiku, berasal dari lokasi yang lumayan jauh, butuh
waktu, tenaga, dan biaya yang mereka tanggung sendiri. Tapi itu tidaklah
penting lagi. Karena kita di sini sudah berkumpul bersama dan berbahagia di
dalam naungan Tuhan.
Malam itu tema pembahasan yang kita bahas cukup beragam. Mulai dari
masalah remeh, sampai membahas cara mensyukuri dan menikmati hidup. Tapi malam itu
orang2 pada membahas tentang negara, pemimpinnya, menteri-menterinya. Maklum,
tahun depan hajatan 5 tahunan akan diselenggarakan. Jadi orang saling mengobrol
dengan kopi di depan wajah mereka masing-masing. Ada yang bilang “presiden
seharusnya dari bangsa kita.” Ada juga yang menambahkan “tapi kan lawannya
orang kita juga, dia lahir di lereng gunung itu. Dia juga teman SMA pakde
saya.” Namun diskusi segera rampung karena adanya sedikit guncangan gempa. Ini
benar terjadi gempa ya!
Seperti yang aku bilang tadi ya, aku akan tetap “beribadah”
meskipun ada perkara yang datang menyapa. Mulailah kita masuk ke acara yang
kita nanti. Acara itu dimulai dengan kita bersama membaca lantunan ayat-ayat
suci dari agama mayoritas di sini. Pembacaan ayat-ayat tersebut ditujukan agar
segala usaha kita tercapai. Setelah pembacaan ayat-ayat suci itu kami langsung
disuguhkan suara musik dari besi yang dipukul. Benda itu kami kenal dengan nama
“Gamelan” yang di mana pakdhe KK membuatnya dengan spesifikasi khusus.
Aku sangat menyukai suara gamelan pakdhe KK. Suaranya bisa merasuk
hingga jiwa. Sangat indah. Tak tahu lagi kata apa yang pas untuk
mendeskripsikan keindahan permainan gamelan pakdhe KK. Setelah pakdhe memainkan
beberapa nomor lagu dengan iringan gamelannya kita pun kembali masuk ke forum
diskusi. Diskusi kali ini membahas tentang lagu-lagu yang baru pakdhe KK rekam.
Sebenarnya pakdhe KK sudah sering memainkan lagu-lagu itu. Namun pakdhe bilang,
pakdhe ingin mendokumentasikan lagu-lagunya dengan rapi. Sehingga pakdhe KK
membuatkan album untuk itu.
Album itu diberi nama “Cukuplah” maksud mbah Em dan pakdhe KK
menggunakan kata “Cukuplah” sebagai nama album ini, karena itu juga salah satu
nama lagu di dalam album ini. Selain itu lagu “Cukuplah” juga yang menjadi
pencetus atau ide awal dari album ini juga. Mbah Em juga bilang kalau lagu itu
bisa buat bahan renungan bahwa cukuplah Tuhan yang mengetahu, menjadi saksi,
ataupun penolong dalam setiap kegundahan, kesedihan dan kebingungan kita.
Setelah kita asyik diskusi panjang tentang album “Cukuplah” tibalah
satu nomor lagu lagi dari pakdhe KK. Saat itu pakdhe membawakan salah satu
lagunya yang berjudul “Obat Hati” (versi pakdhe KK berbeda dengan lagu Opick
ya!). Setelah itu tibalah sesi tanya jawab antara antara mbah Em dengan
cucunya. Selalu menarik untukku kala menyimak sesi tanya jawab ini. Selalu ada
hal baru yang bisa kita dengar dan simak dari hasil tanya jawab antara kakek
dan cucunya itu.
Seperti malam hari itu, aku jadi mengetahui guru mbah Em yang
menurut mbah Em layak disebut “Indah” meskipun di mataku dan khayalanku guru
mbah Em adalah pengecut. Karena mbah Em cerita kalau guru mbah Em ini yang
bernama Um ini mencintai seorang gadis mahasiswi kampus kesenian di kota tempat
mbah Em dan Um ini berkarya. Um ini saking cintanya dengan wanita itu ia bukan hanya tak mampu menatap wajahnya,
namun juga tak mampu untuk bertemu dengannya. Dikutip dari kata mbah Em, Um
pernah bilang “Kalau cinta yang sejati dari Tuhan ini aku terapkan. Sampai aku
bertemu dengan "dia", maka batal cintaku. Cinta bukan fisik, materi,
maka aku tidak boleh bertemu dia. Dan cinta yang sejati adalah tak
mengawininya”.
Begitulah kurang lebih sesi tanya jawab yang di mana mbah Em
menjawab pertanyaan dari cucu-cucunya. Setelah selesai dan ditutup dengan
harapan agar apa yang kita dapatkan dari mbah Em, pakdhe KK, dan kawan-kawan bisa bermanfaat
dan berguna untuk semua. Aku pun Kembali pulang dengan transportasi
kesayanganku. Pergilah aku ke terminal untuk menikmati pesona bus kala jam
setan. Saat bus pada jalan tanpa ada jadwal jam berhenti di kota-kota tertentu
sehingga sopir menekan gasnya dalam-dalam.
Meskipun
bus malam itu melaju kencang di tengah gelapnya malam, aku masih tetap tersadar
sembari memperhatikan bagaimana kondisi jalan pada dini hari itu. Aku bahagia
karena aku bisa hadir ke dalam acara itu. Ibadahku pun selesai, saatnya kembali
ke realitas, rasanya seperti terbangun dari mimpi indah. Sepanjang jalan aku
memilih diam sembari mencerna hasil dari ibadahku semalam dan mempersiapkan
mental bahwa, setelah panas dan cerahnya cuaca akan datang juga badai.